*****

Catatan Lain:

Catatan Lain:
* * * * *

Pembicaraan Politik

Politik sebagai pembicaraan

Sifat Pembicaraan Politik:
  1. Kegiatan simbolik: kata-kata dalam pembicaraan politik. Kegiatan simbolik terdiri atas orang-orang yang menyusun makna dan tanggapan bersama terhadap perwujudan lambang-lambang referensial dan kondensasi dalam bentuk kata-kata, gambar, dan perilaku. Dengan mengatakan bahwa makna dan tanggapan itu berasal dari pengambilan peran bersama, kita meminta perhatian kepada orang untuk memainkan peran. Hal ini berlaku baik bagi lambang politik maupun bagi lambang jenis apapun.
  2. Bahasa: permainan kata dalam pembicaraan politik. Bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang tersusun dari kombinasi lambang-lambang signifikan (tanda dengan makna dan tanggapan bersama bagi orang-orang), di dalamnya  signifikasi itu lebih penting daripada situasi langsung tempat bahasa itu digunakan, dan lambang-lambang itu digabungkan menurut aturan-aturan tertentu. Dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama, ia merupakan instrumen pokok dalam menceritakan realitas. Berger, Peter dan Thomas Luckman (dalam Ibnu Hamad, 2004) meyakini bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Dalam komunikasi politik penggunaan bahasa menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Fiske (1990) dalam Cultural and Communication Studies, menambahkan bahwa penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetap bahkan menciptakan realitas.
  3. Semiotika: makna dan aturan permainan kata politik. Pesan-pesan yang dihasilkan dari hasil pengaruh dari para peserta komunikasi banyak bentuknya dan menghasilkan berbagai makna, struktur, dan akibat. Studi tentang keragaman itu merupakan satu segi dari ilmu semiotika, yakni teori umum tentang tanda dan bahasa. Charles Morris (dalam Nimmo, 1989) menyatakan bahwa semiotika membahas keragaman bahasa dari tiga perspektif: semantika (studi tentang makna); sintaktika (berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu sama lain; dan pragmatika (analisis penggunaan dan akibat permainan kata).

Pragmatika: penggunaan pembicaraan politik:
  1. Meyakinkan dan membangkitkan massa: pembicaraan politik untuk pencapaian material.
  2. Autoritas sosial: pembicaraan politik untuk peningkatan status.
  3. Ungkapan personal: pembicaraan politik untuk identitas.
  4. Diskusi publik: pembicaraan politik untuk pemberian informasi.
 
Pembicaraan Politik:

Pembicaraan KEKUASAAN merupakan pembicaraan yang mempengaruhi orang lain dengan ancaman atau janji. Bentuknya yang khas adalah jika anda melakukan X, saya akan melakukan Y. Kunci pembicaraan kekuasaan adalah bahwa saya mempunyai kemampuan untuk mendukung janji maupun ancaman (baca kekuasaan koersif).
 
Pembicaraan PENGARUH merupakan pembicaraan yang mempengaruhi orang lain dengan nasihat, dorongan, permintaan, dan peringatan. Bentuknya yang khas adalah jika anda melakukan X, maka akan terjadi Y. Kunci pembicaraan pengaruh adalah bagaimana si pembicara berhasil memanipulasi persepsi atau pengharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi.
 
Pembicaraan AUTORITAS adalah pemberian perintah. Bentuknya yang khas adalah lakukan X atau dilarang melakukan X. Yang dianggap sebagai penguasa yang sah adalah suara outoritas dan memiliki hak untuk dipatuhi.

Komunikator Politik dan Kepemimpinan Politik


Karakteristik Kepemimpinan Politik yang Ideal:
  1. Mengikutsertakan semua komponen terkait.
  2. Transparan dan bertanggung jawab.
  3. Efektif dan adil.
  4. Menjamin adanya supremasi hukum;
  5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat.
  6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.


Komunikator Politik Sebagai Pemimpin Politik Dibahas dalam 6 Aspek :

a. Sifat kepemimpinan politik:
  • Memimpin dengan titik tekan pada tugas, ini biasanya disebut administrator seperti Bung Hatta.
  • Memimpin berdasarkan emosi, ini disebut pula solidarity making (pencipta solidaritas) disimbolkan dalam diri Bung Karno yang mampu menyatukan bangsa Indonesia dengan kemampuan retorikanya
b. Tipe Pemipin
  • Pemimpin organisasi yaitu pemimpin formal seperti politikus, profesional atau aktivis juru bicara
  • Pemimpin simbolik yaitu pemimpin nonformal seperti pemuka pendapat.

c. Ikatan Komunikasi

Ikatan komunikasi antara pemimpin dan yang dipimpin berdasarkan keuntungan yang diperoleh diantara keduanya. Keuntungan itu bisa berupa :
  • Keuntungan material seperti harta, tanah dll
  • Keuntungan solidaritas yaitu kebanggaan karena menjadi anggota organisasi tertentu.
  • Keuntungan ekspresif yaitu nilai seseorang atau juga keterwakilan pendapat masyarakat oleh seorang pemimpin.
d. Citra pemimpin politik yaitu persepsi masyarakat tentang peran politik seseorang seperti pengalamannya dan gaya politik seseorang seperti kejujuran dan intelegensianya.

e. Karakter komunikator. Seorang komunikator politik bisa dilihat dari karakter (ciri) yang dibawanya seperti sosioekonominya yang tinggi, gelar akademisnya, posisinya dalam organisasi dll.

f. Pemilihan pemimpin. Pemilihan pemimpin dalam komunikasi politik dilakukan dengan pemilihan (umum) seperti presiden, ditunjuk seperti menteri atau diangkat melalui rekrutmen negara (pejabat karier) seperti dirjen.


Komunikator Politik

Komunikator Utama dalam Politik



1. Politikus
 
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
  1. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik.
  2. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya.  Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah Agung, Ketua/anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).

2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan.
 
3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. dalam hal lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal.

Komunikasi Politik dan Opini Publik

Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya.Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. pabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu.Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
  • Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
  • Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
  • Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. 

Komunikasi Politik
Komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.

Opini Publik
Opini Publik adalah sekumpulan pandangan individu terhadap isu yang sama yang berhubngan dengan arah opini, pengukuran intensitas, stabilitas, dukungan informasional dan dukungan sosial.

Jurnalisme Damai versus Jurnalisme Kekerasan

(Alternatif meminimalisir potensi konflik) 

*) Dede Drajat [1]

[ Artikel ini menjabarkan mengenai trend media massa, meskipun mereka belum ditempa di peprangan, tetapi perannya di sejumlah konflik di Indonesia sering membaut mereka nampak seperti provokator di sejumlah situasi. Media massa dianggap telah menjual kekerasan untuk menyenangkan pembaca dan mendapatkan penjualan yang baik dari hal itu. Media melupkan kefanatikan sosial dari publik. Mereka lupa berita yang mereka sebarkan dapat memicu emosi publik. Kami menawarkan konsep jurnalisme damai sebagai alternatif untuk meminimalkan potensi konflik dan memperbesar potensi dari persatuan bangsa. ]
 
Pendahuluan 

Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998.

Meletusnya aksi-aksi kekerasan ini tampaknya terkait dengan peningkatan identitas rasial, etnis, atau keagamaan yang dahulu ditekan dan dihomogenisasi di bawah rezim otoriter Soeharto demi kepentingan politik, khususnya stabilitas nasional, untuk memastikan proses pembangunan ekonomi berjalan dengan baik.

Selama era Orde Baru, konflik-konflik seperti tadi disembunyikan di bawah "karpet tebal persatuan dan kesatuan" dan diselesaikan dengan cara-cara represif. Pihak-pihak yang berseteru dibungkam. Kita menganggap konflik sudah selesai tetapi sebenarnya kita terus- menerus menyimpan bom waktu.

Sejak Orde Baru tumbang, euforia demokrasi membuka peluang bagi kelompok-kelompok tersebut untuk menggaungkan kepentingan-kepentingannya.

Dalam kondisi demikian, identitas kelompok tumbuh dan terkadang saling bersaing yang pada gilirannya tidak jarang menimbulkan ketegangan dan konflik antarkelompok tersebut. Ketegangan dan konflik tersebut sering menimbulkan kekerasan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, fenomena ini mengindikasikan integritas nasional yang mulai terancam. [2]

Sejak runtuhnya rezim Soeharto, kekerasan dan kerusuhan di beberapa wilayah Indonesia seakan-akan tak kunjung usai. Konflik antar suku, ras, agama, kelompok dan antar golongan terus berkobar silih berganti dengan tidak sedikit membawa jatuh korban. Dari masa Presiden Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi stabilitas masyarakat Indonesia belum nampak kembali “normal” seperti sebelum krisis.

Banyaknya peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang menjadi konsumsi pemberitaan sehari-hari. Media massa cenderung mengeksploitasi aspek dramatik konflik demi penciptaan sensasi. Implikasi yang berkembang subur justru potensi konfliknya dibandingkan potensi integrasi, sehingga eskalasi konflik semakin meluas. Walaupun pada dasarnya mengangkat peristiwa kekerasan menjadi suatu berita merupakan hal yang wajar karena mengandung realitas yang bernilai berita. Namun, akan menjadi persoalan manakala kondisi sistem sosial politik Indonesia saat ini sedang mengalami kerawanan. Artinya, peran strategis pemberitaan media massa yang cenderung akan menciptakan potensi konflik akan menjadi signifikan untuk dibicarakan.

Dalam masyarakat senantiasa hadir potensi konflik dan sekaligus potensi untuk berintegrasi. Pada konteks konflik, dikatakan Mark Thompson, tidak dipungkiri bahwa konflik masyarakat sipil terjadi karena persaingan berbagai kekuatan politik. Media massa mempunyai peranan besar dalam menghasilkan konflik tersebut. Dicontohkan, sebagaimana yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo. “ All sides have sought to mobilize and manipulate public opinion. The media no longer merely comment on war, they are part of the frontline”. (Mark Thomson, “Forging War”, 1999). [3]

Di Indonesia, media massa memang belum sampai pada “forging war” (membentuk perang), namun peranannya dalam beberapa konflik di tanah air diasumsikan “memanasi” situasi. Media massa dianggap menjual kekerasan untuk kepentingan pembacanya. Media lupa akan fanatisme masyarakat yang bisa dengan mudah terpicu emosionalnya karena adanya suatu pemberitaan.

Tulisan ini tidak akan memaparkan jurnalistik kekerasan versus jurnalistik perdamaian dalam kontek adanya potensi konflik dan potensi integrasi dalam masyarakat Indonesia secara mendalam, namun arah tulisan akan lebih memfokuskan bagaimana sebenarnya gambaran jurnalisme damai sebagai salah satu alternatif meminimalisir potensi konflik. Tulisan ini juga tidak berpretensi untuk menarik kesimpulan adanya keterkaitan antara suatu pemberitaan dengan konflik yang terjadi, namun hanya akan melihat adanya upaya alternatif dari jurnalisme damai (peace jurnalism) dalam rangka meredakan konflik-konflik yang sampai saat ini belum berkesudahan.


Jurnalisme Kekerasan 

Jurnalisme kekerasan atau juga war journalism, mempunyai karateristik, ketika memberitakan pertikaian di masyarakat lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya. Seakan-akan kekerasan yang merupakan penyebab kekerasan itu sendiri, violence as its own cause. Jurnalisme ini pemberitaannya cenderung berfokus pada arena, atau tempat di mana konflik kekerasan itu sedang terjadi. Dalam liputannya, yang diberi banyak perhatian pada dampak yang nampak secara fisik, seperti jumlah korban yang mati, atau cedera, jumlah materi yang hancur, atau yang terbakar, baik yang berwujud rumah, mobil, masjid, gereja atau bahkan desa. Dengan kata lain jurnalisme kekerasan lebih suka mengekspolitasi the visible effect of violence, korban kekerasan yang nampak dibanding efek kekerasan yang tidak tampak.

Bagi khalayak yang diterpa media yang menggunakan war journalism, lebih dimungkinkan ikut larut ke dalam emosi untuk memihak salah satu bagian masyarakat yang sedang berkonflik. Apalagi jika dalam pemberitaan itu, media menyederhanakan masalah dengan mereduksi pihak-pihak yang terlibat konflik kekerasan hanya dengan konsep "us and them" (kelompok kita dan mereka). Kemudian menunjukkan ataupun "berkesan" memberikan penilaian, tentang pihak mana yang sedang menjadi pemenang ataupun pecundang (winners and losers).

Sumber berita violence journalism lebih banyak berasal dari elite yang bertikai. Padahal elite politik dimanapun dan siapapun cenderung menggunakan statementnya sebagai bagian dari upaya "menyerang" atau "mengalahkan" pihak lain, sehingga isinya banyak yang bersifat spekulatif dan provokatif. Dalam konteks, violence journalism, suara-suara alternatif, rakyat kecil, para korban pertikaian politik, atau mereka yang merindukan kedamaian, kurang mendapatkan tempat sebagai sumber berita.

Kebanyakan diduga pengelola media ketika berhadapan dengan fakta sosial yang berupa konflik, memang cenderung lebih suka menggunakan pendekakan war journalism. Mereka seakan "menjual" kekerasan untuk kepentingan industri medianya. Dengan alasan semangat keterbukaan, atau fungsi media sebagai cermin realitas (the mirror of events), demi menyenangkan target audience, dan public opinion media itu, lalu mereka melupakan fanatisme sosial yang terkadang "mudah" terpicu emosionalnya.


Jurnalisme Perdamaian 

Istilah jurnalisme damai mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, banyak jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi yang sama, seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekalahan dalam "permainan kalah-menang" antardua pihak yang berhadapan. [4]

Peace Journalism mendasarkan pada standard jurnalisme modern, yang berpegang pada azas imparsialitas, faktualitas, sekaligus dilengkapi dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan kekerasan. Atau mencegah terjadinya kekerasan di dalam masyarakat. Makanya jurnalisme ini mengajarkan, wartawan jangan menjadi bagian dari pertikaian, melainkan harus menjadi bagian dari upaya solusi. [5]

Pada saat media massa dihadapkan realitas yang isinya pertikaian dengan kekerasan, jurnalisme damai menyarankan tetap diungkapnya peristiwa itu, namun menerapkan prinsip-prinsip obyektivitas berita. Menerapkan framing [6] yang berorientasi pada pengungkapan informasi konflik, mengungkap akar masalah, dan menunjukkan konsekuensi negatif akibat konflik tersebut. Dalam konteks ini, media dituntut mampu mengungkap fakta secara lebih lengkap, menggambarkan atau melakukan mapping, memetakan konflik guna memunculkan solusi. Prinsip jurnalisme 5 W + 1 H, ditambah dengan unsur S, yaitu solusion. Artinya pers memberi ruang yang cukup untuk pemikiran lain yang netral, yang rasional, dan kredibel, agar terjadi diskusi sosial untuk mencari solusi yang paling kecil resikonya.

Jurnalisme damai juga menampilkan berita dengan pendekatan framing bahwa konflik dengan kekerasan merupakan suatu problem kemanusiaan yang harus dihentikan dan dicegah. Konflik dengan kekerasan hanya akan memunculkan kerugian, penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis, hilangnya masa depan, rusaknya struktur sosial, moral, dan budaya. Atau menunjukkan invisible effect of violence. Yang penyembuhannya membutuhkan waktu lama, dan sulit.

Dalam konteks ini, intinya media secara etis berkewajiban mencari empati pada audience-nya, bahwa kekerasan hanyalah membuahkan kesengsaraan. Karena itu suara-suara orang yang menginginkan perdamaian, ataupun korban-korban kekerasan yang sudah cukup banyak di negeri ini, yang biasanya wanita, orang tua dan anak-anak harus diberi tempat yang proporsional di dalam pemberitaan. Dengan demikian agenda media tidak hanya dipenuhi oleh statement elite yang bertikai, yang acapkali "memanaskan telinga" pihak lain. Tapi lebih banyak menampung suara pencinta perdamaian, atau jeritan korban pertikaian politik, giving voice to the voiceless, memberikan kesempatan bicara pada mereka yang tidak bersuara, agar teriakan segera diwujudkannya sehingga perdamaian dapat terlaksana.

Selanjutnya pemberitaan media lebih diorientasikan untuk mencari inisiatif-inisiatif solusi dan rekonsiliasi, sekaligus mencegah terjadinya kekerasan baru di masyarakat. Di sinilah perlunya kepandaian dan kreativitas kalangan jurnalis. Di satu sisi mereka tetap mengungkap fakta, namun di sisi yang lain mereka dituntut arif, dengan memberikan bingkai pada fakta itu, bahwa kekerasan hanya akan memunculkan penderitaan dan kehancuran. Dan kedamaian hanya akan terwujud bila kekerasan ditiadakan. Itulah sebuah alternatif jurnalisme untuk negara yang sedang dilanda ancaman konflik kekerasan sosial seperti Indonesia.

 
Solusi Alternatif 

Pemberitaan media di Indonesia -hanya karena dengan alasan mengejar tiras- tak jarang meninggalkan standard jurnalisme profesional, yaitu dalam pengungkapan fakta tidak didasari pada tuntutan etika dan jurnalisme modern. Seringkali kurang memperhitungkan konsekuensi dari pemberitaan yang tidak mengikuti kaidah jurnalisme. Kaidah etika, azas imparsialitas, hingga obyektivitas yang menuntut akurasi berita acapkali dilupakan. Padahal dalam setiap pemberitaan media massa senantiasa dituntut untuk meperhitungkan segala aspek jurnalisme ini, dan apabila prinsip jurnalisme itu dilakukan dengan sendirinya isi media tidak akan terkesan provokatif atau mem blow up pertentangan.

Penerapan standard jurnalisme tersebut menjadi penting, mengingat pada dasarnya media massa merupakan sarana manusia untuk memahami realitas. Sebab itu media massa senantiasa dituntut mempunyai kesesuaian dengan realitas dunia yang benar-benar terjadi. Maksudnya agar gambar realitas yang ada di benak khalayak - the world outside and the pictures in our heads, demikian istilah Lippman (1922) - tidaklah bias karena informasi media massa yang tidak kontekstual dengan realitas.

Media massa dibutuhkan masyarakat tak lain karena informasinya. Informasi itu sebagai dasar menentukan sikap, perilaku, atau pun respon terhadap berbagai hal, termasuk persoalan politik. Media massa mempunyai tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi. Karena etos dasar media -menurut Magnis Suseno--tak lain adalah etos kebenaran. Kebenaran dalam pengertian etos ini adalah memberitakan keadaan sebenarnya (Suseno; 1986:122).

Dalam jurnalisme, kebenaran tidaklah bisa diklaim oleh satu pihak. Tapi harus dikonfirmasikan menurut kebenaran dari pihak lain. Inilah mengapa pemberitaan di media senantiasa dituntut untuk mengungkapkan kebenaran secara impartial. Yaitu salah satu syarat obyektifitas berita yang sering dikenal dengan istilah pemberitaan cover both side, dimana media menyajikan semua pihak yang terlibat sehingga pers mempermudah pembaca menemukan kebenaran (Siebert, Peterson, Shramm; 1986:100). Selain tuntutan pemberitaan yang fair, media juga dituntut melakukan pemberitaan yang akurat, yang tidak boleh berbohong, menyatakan fakta jika itu memang fakta, dan pendapat jika itu memang pendapat (Siebert, Peterson, Shramm; 1986:99).

Sementara dalam konsepsi yang sama Everette Denis dan DeFleur dalam buku Understanding Mass Communication, menunjukkan bahwa media senantiasa dituntut mengembangkan pemberitaan yang obyektif, yaitu "reporting format that generally separates fact from opinion, presents an emosionally detached view of the news, and strives for fairness and balance" (DeFleur; 1994:635). Tuntutan lain suatu pemberitaan yang ideal adalah tidak menggunakan bahasa yang mengeraskan realitas, atau puffery. Media hendaknya bisa mengungkap fakta tanpa harus membuat pembacanya menjadi ingin ikut terlibat dalam konflik yang diberitakan. Sedang menurut McQuail, suatu pemberitaan yang objektif mempunyai syarat-syarat sebagaimana yang dia kemukakan dalam buku Mass Communication Theory bahwa "information should be objective in the sense of being accurate, honest, sufficiantly complete, true to reality, realible, and separating fact from opinion. Information Should be balanced and fair (impartial) ---reporting alternative perspectives in a non-sensational, unbiased way" (McQuail; 2000 : 172). Jadi menurut perspektif ini, informasi dikatakan objektif jika akurat, jujur, lengkap, sesuai dengan kenyataan, bisa diandalkan, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi juga harus seimbang dan andil, dalam arti melaporkan perspektif-perspektif alternatif dalam sifat yang tidak sensasional dan tidak bias.

Obyektivitas, betapapun sulitnya, harus diupayakan oleh insan-insan media. Obyektivitas berkait erat dengan kemandirian media sebagai institusi sosial. Institusi media memang dituntut obyektif dan netral atas semua fakta. Hal itu penting mengingat signifikasi efek media terhadap khalayak, sebagaimana konsepsi Lippmann di bagian muka.

Upaya menyampaikan kebenaran fakta yang akurat juga berkait dengan persoalan pemilihan bahasa. Dalam proses komunikasi bahasa bukan sekadar sarana untuk dimuati oleh pesan, tetapi pilihan bahasa memiliki arti yang sangat penting terhadap proses pemaknaan. Menurut teori Terministic Screen dari Burke, bahasa mempunyai makna yang amat penting. "Term with not only focus the attention of the audinece on a specific subject, but also limit the audience' perception and direct the audience though and belief system" (Burke, 1966). Disini bahasa tidak hanya untuk memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu, tetapi juga membatasi persepsi mereka dan mengarahkannya pada cara berpikir tertentu.

Permasalahannya adalah apabila bahasa yang digunakan menggunakan bahasa kekerasan, atau puffery. Yaitu bahasa yang menurut Preston dan Johnston diartikan sebagai: Blow up, exaggerate, over state, or state superlatives concerning matters of subjectives judsments and opinion…(Presston dan Johnson, 1972:558).

Namun karena media massa dengan insan pengelolanya memiliki berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik, maupun ekonomi, ataupun juga ada keterbatasan profesionalisme maka tak jarang berita surat kabar tidak memenuhi tuntutan standar jurnalisme. Hal demikian menjadi amat penting untuk diketahui, terutama bersamaan dengan adanya agenda politik nasional yang diwarnai dengan konflik antar elite. Sekaligus masih seringnya terjadi konflik kekerasan di berbagai daerah, baik itu berupa kerusuhan SARA, maupun separatisme, dan konflik politik lokal.


Kesimpulan 

Dalam upaya mengeliminir pemberitaan yang cenderung lebih mengedepankan pemberitaan kekerasan konflik, dan kerusuhan SARA, tampaknya jurnalisme damai merupakan solusi yang perlu diterapkan insan - insan media dalam mencegah –meminimalisir- potensi konflik dan memperbesar ruang bagi potensi integrasi bangsa (nation and character building).

Jurnalisme Damai adalah penerapan jurnalisme dalam berita yang menggunakan ukuran-ukuran etis, seperti memisahkan antara fakta dan opini media, menerapkan azas impartialitas atau tidak memihak, memberitakan dengan tidak menonjol-nonjolkan kekerasan itu sendiri melalui ukuran dan penempatan yang "berlebihan", serta tidak menggunakan istilah atau bahasa yang mendorong permusuhan. Kemudian memberikan kesempatan suara pada voiceless, bukan suara para elite yang bertikai. Lebih berorientasi pada korban yang tidak tampak, yang bersifat jangka panjang. Pemberitaannya cenderung lengkap, melakukan mapping terhadap persoalan, mencari akar permasalahan, dan solusi, bukan pemberitaan justru terkonsentrasi pada arena konflik.


Rekomendasi 

Untuk penerapan jurnalistik damai setidaknya media massa nasional mengedepankan unsur-unsur sebagai berikut :.

a. Tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang berasal dari wartawan, yang diindikasi dengan kata-kata: tampaknya, diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya, diramalkan, kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-kata opinionatif lainnya.

b. Adanya keseimbangan pemberitaan (cover both side), artinya ketidakberpihakan pemberitaan.

c. Tidak membesar-besarkan berita (konflik), ditempatkan sebagai berita utama (exagerrate).

d. Tidak menggunakan bahasa yang bersifat puffery (kekerasan)

e. Menggunakan konsep "giving voice to the voiceless" (memberikan kesempatan bicara pada mereka yang tidak bersuara).

f. Berita yang disampaikan lebih memperhatikan akibat (implikasi) yang ditimbulkan oleh pertikaian.

g. Beritanya berorientasi lebih banyak pada arena konflik, yaitu hanya meliput konfliknya saja, dan deskripsi di daerah pertikaian. Pemberitanya lebih diarahkan sebagai persoalan yang tidak sederhana, melakukan mapping, mencari atau melihat latar belakang masalah, problem-problem kultural dan politik yang mendasari, serta diharapkan dapat memberi alternatif solusi.


Daftar Kepustakaan 
  • Akbar, Akhmad Zaini, “1966-1974 Kisah Pers Indonesia”, LkiS, 1995
  • Henry Subiakto, Kompas, Jurnalisme Damai, 18 Desember 2000.
  • Kompas, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Debat Publik Seputar Reformasi Kehidupan Bangsa, Jakarta, 1999.
  • Lembaga Informasi Nasional dan Institut Pengembangan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (INPEDHAM), Yogyakarta, “Studi Pengembangan Informasi Potensi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa”, tahap I, 2002. 
  • The Crisis of Public Communication, (London : Routledge, 1995)
  • Siebert, Fred S., Theodore Peterson & Wilbur Schramm, Four Theories of The`Press. (Urbana : University of Illionis Press, 19)
  • Tuchman, Gaye. Making News, (New York : Free Press, 1978)
  • Victor Causin (1983), dalam William. L. Rivers Cleve Mathews, Etika Media Massa dan Kecenderungan Untuk Melanggarnya, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.
  • Lync, Jake and Anabel, Towards Peace Journalism http//members aol.com/jarrettjs/conflict/homepage.
  • Floyd, Fiona, Reportase untuk Perdamaian, buku 1 dan 2, internews Indonesia,2000
  • Thompson, Mark, Forging War, University of Luton Press Bedfordshire 1999
  • Mc Quail, Denis, Mass Communicatin Theory, Sage Publication, London, 2000
  • Cote, William Cote, William and Simpson Roger, Covering Violence, Columbia University Press, 2000
  • http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm


Keterangan:
[1] Peneliti di Pusat Litbang Aptel, SKDI-Badan Litbang SDM- Depkominfo.

Sebagian data artikel ini disediakan oleh Drs. Henry Subiakto, SH, MA; Staf Ahli Menkominfo, Bidang Media Massa, Depkominfo, Ketua Program Pasca Sarjana Studi Media dan Komunikasi, FISIP Universitas Airlangga.

[2] http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm

[3] Henry Subiakto, Kompas, Jurnalisme Damai, 18 Desember 2000

[4] Muhammad Ali, “Jurnalisme Damai, Suatu Keniscayaan”, dikutip dari http://www.suaramerdeka.com/ Harian/0502/14/0pi4.htm

[5] Henry Subiakto, Kompas, Jurnalisme Damai, 18 Desember 2000.

[6] Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interprestasi khalayak sesuai perspektifnya. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang akan diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebu. (Eriyanto, “Analisis Framing”, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LkiS, Yogyakarta, 2004).

Source: http://jurnalisme-makassar.blogspot.com/

Media Online: Traffic atau Kode Etik?


Penggunaan internet kian hari semakin meningkat, begitu juga pengunjung dalam media online. Namun, kecepatan dalam penyebaran arus informasi di media online seringkali disalahartikan. Demi mengejar sebuah traffic, terkadang isi berita mengindahkan dari pakem etika jurnalisme.

Akses untuk memperoleh informasi semakin cepat dan mudah seiring dengan adanya perkembangan teknologi yang ada. Hal ini sebagai inovasi lanjutan sejak dimunculkannya new media pada tahun 1970-an. Begitu juga dengan wajah media internet kita, dimana media online mulai menjamur dan menampakkan eksistensinya.

Sebuah media tidak dapat berkembang tanpa adanya perhatian dan dukungan dari khalayak masyarakat. Begitu juga dengan halnya media online dalam mencari masyarakat maupun produsen iklan untuk menghidupi medianya. Oleh karenanya, eksistensi dimunculkan melalui strategi-strategi jitu dari pemilik media online di tengah persaingan yang ada. 

Pertumbuhan Media Online 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI), penggunaan media online cukup pesat dibanding media-media lainnya, naik dari 26% menjadi 30% dibandingkan tahun lalu. Sehingga Indonesia mendapatkan rangking ketiga se-Asia Tenggara sebagai pengguna internet terbanyak setelah China dan India.

Seiring dengan itu, realitas ekonomi perlu dipahami sebagai dampak dari perkembangan media ini. Media merupakan suatu sistem kompleks yang muncul sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Media perlu untuk memperebutkan waktu, perhatian dan dukungan agar tetap hidup dan memperoleh keberhasilan finansial (Fidler, 2003 : 193).

Roger Filder dalam bukunya Mediamorphosis juga memaparkan bahwa sumber penghasilan di masa depan untuk World Wide Web adalah harus menunjukkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan-pelanggan untuk dapat menarik para pengiklan (hal.195). Bisnis dalam media online menjadi penting bagi produsen di masa yang akan datang untuk mengiklankan produknya. “Indonesia diperkirakan 3-5 tahun lagi akan mengalami masa keemasan sebuah bisnis media online,” ungkap CEO Nielsen Online Japan, Charles Buchwalter (http://nasional.kompas.com/read/2010/06/03/1603125/iklan.online.melonjak.3.5.tahun.lagi.)

Perkembangan teknologi masa kini dapat didefenisikan sebagai dogma self-fulfilling prophecy, yaitu perkembangan optimal berbagai teknologi menjadi benar-benar ditentukan oleh mekanisme pasar (Fidler, 2003 : xxv). Dimana pasar saat ini sangat mengantunggkan dirinya pada teknologi. Hal ini juga dibuktikkan dengan munculnya sebutan ‘generasi menunduk’, dimana ketergantungan akan sebuah teknologi yang bernama gadget semakin meningkat.

Konvergensi media pun terjadi, perusahaan media tidak hany berupa media elektronik maupun cetak tetapi juga dengan media online. Selain itu, fenomena ini juga melahirkan banyak citizen journalism di media kita. Sehingga tak jarang jika media online sekarang bersaing dalam hal traffic. 

Kredibilitas Media Online 
Media online sedang mendulang kesuksesannya, didukung dengan semakin meningkatnya penggunaan media online di Indonesia. Melalui internet-on-line journalism-kita bisa menjelajahi berita dengan kedalamannya tanpa ada batasan atau kendala ruang. Berita pun dapat menyebar luas dan dapat diperbaharui. On-line journalism menerapkan annotative journalism : tinggal meng-klik satu kata, kita bisa mendapatkan informasi sebanyak yang tersedia (Ishwara, 2005 : 49).

Pada dasarnya, media online memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan media lainnya seperti kecepatan, interaktivitas, prinsip partisipatori dan emansipasi publik, dan ruang media sebagai ruang publik deliberatif, seperti yang diungkapkan oleh Agus Sudibyo, selaku Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan. Namun, etika jurnalisme yang digunakan media cetak ataupun elektronik sama berlakunya di media online.

Akan tetapi pada kenyataannya banyak persepsi keliru mengenai jurnalisme online yang dianggap  jurnalisme yang tidak serius. Hal ini jelas menurunkan kredibilitas ilmu jurnalisme dalam menjalankan tugasnya untuk menyebarkan informasi. Ini didukung dengan banyaknya kasus pelanggaran kode etik yang terjadi.

“Dari pengaduan yang terkait media online, 76 persen adalah pelanggaran kode etik jurnalistik,” ujar Agus Sudibyo (7/4).

Ada enam jenis pelanggaran media online yang seringkali diadukan ke Dewan Pers. Pelanggaran pertama, media siber tidak menguji informasi atau melakukan konfirmasi sebanyak 30 kasus.  Pelanggaran kedua, berita tidak akurat (30 kasus); ketiga, mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi (17 kasus); keempat, tidak berimbang (10 kasus); kelima, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila (tiga kasus); dan keenam, tidak jelas narasumbernya (satu kasus).

Faktanya, kredibilitas berita dalam media online menjadi dipertanyakan dilihat dari proses produksi berita, etika berita dan sumber dayanya. Michael Oreskes mengatakan berdasarkan pengamatannya, internet adalah medium yang lebih terkait dengan kecepatan, bukan dengan akurasi. Mungkin ini menjadi salah satu alasan kredibilitas media online menurun.

Kecepatan Vs Akurasi 
Kecepatan memberitakan berita yang mengabaikan verifikasi seringkali dilakukan oleh pekerja dibalik perusahaan media online. Ternyata verifikasi dalam kode etik jurnalisme seringkali dilanggar untuk mengejar traffic yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Traffic menjadi salah satu peluang bagi media online untuk menarik hati para produsen iklan untuk beriklan dalam media online tersebut. Sehingga setiap klik yang dilakukan oleh pengunjung dapat memberikan biaya hidup bagi media online itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa iklan menjadi nyawa baru bagi perusahaan media.

Celakanya jika hanya untuk mengejar target traffic tetapi tidak dibarengi dengan tingkat keakurasian sebuah informasi sangat menjatuhkan kredibilitas pers saat ini. Pembuatan berita yang sensasional sering menjadi daya tarik bagi para jurnalis untuk dapat menarik hati para pembaca. Begitu juga dengan munculnya jurnalisme mutilasi dengan menghadirkan berita yang tidak berimbang dan tidak akurat. Seringkali antara kecepatan dan kesalahan dalam menyebarkan informasi menjadi sesuatu yang beda tipis, sehingga kesalahan pun sering terjadi dan tanpa disadari.

Dalam pedoman mengenai jurnalisme online yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, menyebutkan bahwa pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi, dimana hal itu memenuhi prinsip akurasi dan juga keberimbangan. Sebuah berita yang belum diverifikasi dapat dipublikasikan, dengan syarat (a) berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak (b) Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten (c) Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai (d) media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

Kemudian setelah memuat berita sesuai dengan hal tersebut, media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.

Oleh karena itu, pada dasarnya tidak hanya pada kecepatan yang diinginkan oleh masyarakat dalam mendapatkan sebuah informasi melalui media online.  Namun, hal itu dibarengi dengan adanya verifikasi. Berita yang dianggap sebagai ‘berita’ dalam jurnalisme online adalah data yang sudah diverifikasi.

Walaupun pada kenyataannya bahwa pasar iklan di dunia online yang menggunakan sistem iklan berdasarkan traffic, tidak selamanya itu menjadi sebuah kepercayaan. Pemahaman mengenai kode etik jurnalisme online dan etika jurnalistik tetap menjadi pegangan bagi para jurnalis karena pada dasarnya jurnalisme online lebih mengedepankan verifikasi.

Daftar Pustaka :
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta : Kompas.
Fidler, Roger. 2003. MEDIAMORFOSIS : Memahami Media Baru. Yogyakarta : Bentang Budaya.

Source: http://media.kompasiana.com/

Artikel: Sekolah Si David

Pedoman Pemberitaan Media Siber

Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.

Media Siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber sebagai berikut :

1. Ruang Lingkup
a. Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.

b. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content) adalah segala isi yang dibuat dan atau dipublikasikan oleh pengguna media siber, antara lain, artikel, gambar, komentar, suara, video dan berbagai bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain.

2. Verifikasi dan keberimbangan berita
a. Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. 

b. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.

c. Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:
  • Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
  • Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
  • Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;
  • Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
d. Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.

3. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content)
a. Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas.

b. Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut.

c. Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan :
  • Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
  • Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;
  • Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d. Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c).

e. Media siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan Pengguna yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme tersebut harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.

f. Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar ketentuan butir (c), sesegera mungkin secara proporsional selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.

g. Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b), (c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).

h. Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu sebagaimana tersebut pada butir (f).

4. Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab
a. Ralat, koreksi, dan hak jawab mengacu pada Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Hak Jawab yang ditetapkan Dewan Pers.

b. Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab.

c. Di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan waktu pemuatan ralat, koreksi, dan atau hak jawab tersebut.

d. Bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media siber lain, maka:
  • Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di bawah otoritas teknisnya;
  • Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber, juga harus dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber yang dikoreksi itu;
  • Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu.
e. Sesuai dengan Undang-Undang Pers, media siber yang tidak melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (Lima ratus juta rupiah).

5. Pencabutan Berita

a. Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.

b. Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut.

c. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.

6. Iklan
a. Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan.

b. Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan dan atau isi berbayar wajib mencantumkan keterangan "advertorial", "iklan", "ads", "sponsored", atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut adalah iklan.

7. Hak Cipta
Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Pencantuman Pedoman
Media siber wajib mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini di medianya secara terang dan jelas.

9. Sengketa
Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini diselesaikan oleh Dewan Pers.



Jakarta, 3 Februari 2012
[Pedoman ini ditandatangani oleh Dewan Pers dan komunitas pers di Jakarta, 3 Februari 2012].

Source: http://klien.kontan.co.id/

Semut Bunuh Diri Massal

Pernahkah anda menemukan semut yang melakukan aksi bunuh diri massal? Setidaknya itulah yang akan disampaikan pada ulasan berikut ini.

Ada fenomena di mana sekelompok semut yang melakukan aksi bunuh diri massal. Namun tidak dengan cara kekerasan seperti makan granat, tusuk pisau ke tubuh, loncat jurang, atau pun minum racung serangga layaknya para manusia labil yang kurang memberdaya akal. Melainkan dengan cara membentuk lingkaran kematian.

Fenomena ini ditemukan oleh Beebe pada tahun 1921 ketika sedang berjalan di Guyana. Dia melihat keanehan pada semut tentara yang terpisah dari koloninya. Mereka berputar membentuk sebuah lingkaran. Semakin lama lingkaran yang dibentuk oleh para semut tentara yang terpisah dari koloninya tersebut semakin besar, karena banyak para semut lain yang berpartisipasi atau bergabung. Penasaran?

Berikut videonya :



Seperti yang terlihat di atas, mereka berputar seperti gasing dalam waktu yang lama sehingga banyak diantara semut-semut tersebut mati karena kehausan atau kecapekan. Beebe lalu mencatat di bukunya dan memberi nama keanehan itu “ants circle of death”.

Ada juga yang menyebut fenomena tersebut dengan “Dancing ants” atau “death mill” atau “ants circle of death". Fenomena ini pertama kali dipelajari oleh psikolog hewan amerika Theodore Schneirla pada tahun 1944.

Para semut saling berkumpul dan mulai berjalan membentuk lingkaran. Salah satu referensi umum untuk fenomena ini dihubungkan dengan seorang naturalis amerika William Beebe, yang melihat dan kemudian menggambarkan fenomena ini di guyana pada tahun 1921.

Berikut video lebih jelasnya:



Seperti yang terlihat di atas, tentara semut bergerak dalam lingkaran dengan lingkar kaki 1.200. Butuh waktu 2,5 jam setiap semut untuk menyelesaikan loop. Gerakan ini berlangsung selama dua hari sampai sebagian besar peserta (semut) mati.

Bagaimana terjadinya lingkaran tersebut?

Seorang ahli semut menjelaskan awalnya ada semut yang terpisah dari koloninya. Nah, ketika terpisah dari koloninya itu, sang semut memiliki peraturan sederhana, yakni "Ikuti semut di depannya". Karena semut yang terpisah dari koloni saling mengikuti di depannya, maka mereka akan membentuk sebuah lingkaran yang mirip seperti black hole.


Source: Berbagai Sumber.

Dengan Menulis, Menyehatkan Jiwa



 




Siapa sangka, bahwa dengan menulis dapat menyehatkan kejiwaan.
 

Pada tahun 1990-an, Dr. James W. Pennebaker melakukan penelitian selama 15 tahun tentang pengaruh membuka diri terhadap kesehatan fisik. Hasil penelitian tersebut, ia tulis dalam buku "Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions", bahwa menulis menjernihkan pikiran, menulis mengatasi trauma, menulis membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru, menulis membantu memecahkan masalah, dan menulis-bebas membantu kita ketika terpaksa harus menulis.

Fatima Mernissi, berpendapat bahwa menulis menyehatkan, bahkan membuat awet muda. Menurutnya, jika kita setiap hari menulis, maka kulit kita menjadi tetap segar. Saat kita bangun, menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama di atas kertas kosong, kantung di bawah mata akan segera lenyap dan kulit akan terasa segar kembali.
 
Lebih menarik lagi adalah kisah John Mulligan. Selama enam tahun, veteran perang Vietnam ini menjadi gelandangan di North Beach, San Fransisco. Pengalaman berdarah-darah di Vietnam membuatnya trauma. Jiwanya terluka dan hampa. Akan tetapi hidupnya berubah sama sekali setelah ia mengikuti workshop kepenulisan yang diadakan oleh penulis masyhur, Maxine Hong Kingston.
 
Sepulang dari workshop itu, ia memiliki paradigma baru, perasaan baru, dan kehidupan baru. Ia pun mulai menuliskan semua perasaannya. Ternyata itu membantunya untuk menghilang stress, kekusutan pikiran, dan beban hidupnya. Akhirnya menjadi seorang novelis. Penulis novel Shopping Cart Soldiers itu pun berkata, “Menulis menghindarkan saya dari kegelapan hidup!”
 
Banyak peneliti yang mendukung pengalaman Mulligan itu: menulis ikhwal peristiwa yang menciptakan stress adalah terapi yang digdaya bagi pikiran dan kejiwaan. “Puluhan studi telah menemukan bukti bahwa banyak orang merasa lebih sehat dan bahagia setelah menuliskan kenangan-kenangan yang traumatis,” kata Dr. James Pennebaker —guru besar psikologi University of Texas. Gagasan di balik risetnya adalah “penerjemahan pengalaman (pahit) ke dalam bahasa akan mengubah cara orang berpikir mengenai pengalaman itu”.
 
Salah satu studinya yang dipublikasikan dalamJournal of Consulting and Clinical Psychology edisi April 1998, menemukan bukti bahwa sel-sel T-limfosit para mahasiswa menjadi lebih aktif enam pekan setelah mereka menulis peristiwa-peristiwa yang menekan. Suatu indikasi adanya stimulasi sistem kekebalan.
 
Studi-studi lain menemukan fakta bahwa orang cenderung lebih jarang mengunjungi dokter, bekerja lebih baik dalam tugas sehari-hari, dan memperoleh skor yang lebih tinggi dalam uji psikologi, setelah mengikuti latihan menulis. Di antaranya, sebuah studi yang diterbitkan pada 14 April 1999 dalam Journal of The American Medical Association, memperlihatkan bahwa menulis secara ekspresif mampu meringankan gejala asma dan rheumatoid arthritis.
 
Lantas mengapa masih malas melakukannya? Oleh karena itu, mulai lah hobi menulis dari sekarang. Sebab sesungguhnya sangat banyak manfaat atasnya. Salah satunya seperti yang telah diurai di atas, yaitu menyehatkan jiwa. Mari mulai menulis.


Source:
http://biologi-news.blogspot.com

Dampak Perkembangan Teknologi Terhadap Komunikasi

Dewasa ini begitu pesat perkembangan teknologi informasi di Indonesia. Dengan berkembangnya teknologi informasi yang pesat ini, peran serta dari masyarakat sangat besar dalam perkembangannya. Teknologi informasi juga membantu hubungan antar masyarakat menjadi lebih mudah dan efisien. Menurut Agustina (2010) dalam kehidupan sosial bermasyarakat peran teknologi informasi memberikan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Teknologi informasi mempunyai dampak positif dan negatif bagi kehidupan sosial di Indonesia.
 
Dampak positif teknologi informasi tentu yang diharapkan dalam kehidupan sosial, seperti masyarakat yang mulai mendapatkan informasi mengenai berita apapun dengan memanfaatkan media online. Majalah ataupun koran sudah mulai ditinggalkan. Selain itu dampak teknologi informasi juga mempengaruhi dari berbagai bidang, seperti bidang transportasi dapat diimplementasikan pembuatan E-Toll card (kemudahan pembayaran tol) yang sekarang juga sudah mulai diterapkan di Jakarta. Dalam bidang bisnis, pemanfaatan teknologi E-commerce sangat membantu para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Dengan teknologi ini tidak perlu lagi proses jual beli secara face to face, namun cukup dengan bantuan jaringan internet semua proses bisa dilakukan dengan efisien. Kemudian dari bidang pendidikan dengan adanya E-learning memungkinkan proses belajar mengajar dari jarak jauh sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Masih banyak lagi dampak positif dari berkembangnya teknologi informasi di masa datang.
 
Namun kemajuan teknologi juga mempunyai dampak negatif pada aspek sosial budaya seperti kenakalan dan tindak penyimpangan dikalangan remaja dengan mengakses situs porno, dan oknum-oknum yang menggunakan media facebook sebagai media porstitusi yang jelas dapat merusak moral para generasi muda. 

Dampak negatif lain dari teknologi di masa depan juga melemahkan rasa gotong royong dan tolong menolong sebagaimana ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Menurut saya, dampak kehidupan sosial di masa depan jika kita terbawa dampak negatif mungkin akan melemahnya rasa gotong royong, komunikasi menjadi lebih mudah sehingga tidak perlu tatap muka, dan dengan kemudahan yang diberikan oleh teknologi tersebut yang apaun pekerjaan bisa dikerjakan dengan komputer sehingga manusia akan menjadi malas. Sedangkan dari dampak positifnya yaitu kefektifan dari segi biaya dan waktu, misal kemajuan teknologi dibidang pendidikan dimana bisa mengajar dari jarak jauh sehingga meminimalkan biaya dan waktu.
 
Teknologi  membentuk cara berpikir, berperilaku, dan bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi selanjutnya di dalam kehidupan manusia. Contohnya dari masyarakat yang belum mengenal huruf menjadi masyarakat yang canggih dengan perlatan cetak maupun electronik. Inti determinisme teori yaitu penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi merupakan faktor yang mengubah kebudayaan manusia. Di mana menurut McLuhan, budaya kita dibentuk dari bagaimana cara kita berkomunikasi.
 
Perubahan pada mode komunikasi membentuk suatu budaya dengan melalui beberapa tahapan, yaitu:
  1. Penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya.
  2. Perubahan didalam jenis-jenis komunikasi membentuk kehidupan manusia.
  3. Peralatan untuk berkomunikasi mempengaruhi kehidupan kita sendiri.

Dengan dilaluinya ketiga tahapan di atas, maka akhirnya peralatan tersebut membentuk atau mempengaruhi kehidupan manusia. Selanjutnya akan terjadi beberapa perubahan besar yang terbagi dalam empat periode/era, yaitu dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini :
 
Pertama, era kesukuan atau the tribal age. Pada periode ini, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Mengucapkan secara lisan berupa dongeng, cerita, dan sejenisnya. Kedua, era tulisan atau the age of literacy. Manusia telah menemukan alfabet atau huruf sehingga tidak lagi mengandalkan lisan, melainkan mengandalkan pada tulisan. Ketiga, era cetak atau the print age. Masih ada kesinambungan dengan alfabet, namun lebih meluas manfaatnya karena telah ditemukan mesin cetak. Keempat, era elektronik atau the electronic age. Contoh dari teknologi komunikasi yaitu telephon, radio, telegram, film, televisi, komputer, dan internet sehingga manusia seperti hidup dalam global village.

Teknologi komunikasi yang digunakan dalam media massa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia atau menurut Em Griffin (2003 : 344) disebut nothing remains untouched by communication technology. Dan dalam perspektif McLuhan, bukan isi yang penting dari suatu media, melainkan media itu sendiri yang lebih penting atau medium is the message.
 
Determinisme teknologi media massa memunculkan dampak. Media massa mampu membentuk seperti apa manusia. Manusia mau diarahkan pada kehidupan yang lebih baik media massa punya peran. Namun demikian, media massa juga punya andil dalam memperburuk keberadaan manusia itu sendiri.

Contoh yang dapat ditemui dalam realita: Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat segalanya serba ingin cepat dan instan. Teknologi sebagai peralatan yang memudahkan kerja manusia membuat budaya ingin selalu dipermudah dan menghindari kerja keras maupun ketekunan. Teknologi juga membuat seseorang berpikir tentang dirinya sendiri. Jiwa sosialnya melemah sebab merasa bahwa tidak memerlukan bantuan orang lain jika menghendaki sesuatu, cukup dengan teknologi sebagai solusinya. Akibatnya, tak jarang kepada tetangga dekat kurang begitu akrab karena telah memiliki komunitas sendiri, meskipun jarak memisahkan, namun berkat teknologi tak terbatas ruang dan waktu.
 
Solusi agar budaya yang dibentuk di era elektronik ini tetap positif, maka harus disertai dengan perkembangan mental dan spiritual. Diharapkan informasi yang diperoleh dapat diolah oleh pikiran yang jernih sehingga menciptakan kebudayaan-kebudayaan yang humanis. Namun teori ini pada media massa dan kebudayaan, memiliki dua kelemahan pokok yaitu:
  1. Teori ini hanya memandang satu aspek tertentu media yaitu bentuk material atau tekonologi sebagai karakter pokok dan sangat menentukan.
  2. Pandangan teori ini hanya berdasarkan peristiwa historis dan pengalam yang dialami dunia barat.

Jadi, pencetus teori determinisme teknologi ini adalah Marshall McLuhan pada tahun 1962 melalui tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Dasar teori ini adalah perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi  membentuk cara berpikir, berperilaku, dan bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi selanjutnya di dalam kehidupan manusia.
 
Inti dari teori McLuhan adalah determinisme teknologi. Maksudnya adalah penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah kebudayaan manusia. Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi.
 
Teknologi sudah menjadi barang mutlak di era global ini. Apapun yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari teknologi. Mulai dari bekerja menggunakan laptop atau computer, penggunaan internet dan jejaring social, mesin otomatis dalam pabrik sampai hal kecil seperti memfotokopi kertas pun tak luput dari sentuhan teknologi yang terus dikembangkan.

Determinisme Teknologi

I. Definisi Determinisme
Determinisme berasal dari bahasa Latin determinare yang artinya menentukan atau menetapkan batas atau membatasi. Secara umum, pemikiran ini berpendapat bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Determinisme juga berpegangan bahwa perilaku etis manusia ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai etis masyarakat. Istilah ini dimasukkan menjadi istilah filsafat oleh William Hamilton yang menerapkannya pada Thomas Hobbes. Penganut awal pemikiran determinisme ini adalah demokritos yang percaya bahwa sebab-akibat menjadi penjelasan bagi semua kejadian.

II. Determinisme Teknologi
Determinisme teknologi, artinya teknologi menjadi penentu dalam perubahan sosial masyarakat. Meritt Roe Smith mengatakan bahwa determinisme teknologi berawal dari asumsi bahwa teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialistis teknologi.
Determinisme teknologi dapat diartikan bahwa setiap kejadian atau tindakan yang dilakukan manusia itu akibat pengaruh dari perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi tersebut tidak jarang membuat manusia bertindak di luar kemauan sendiri. Pada awalnya, manusialah yang membuat teknologi, tetapi lambat laun teknologilah yang justru memengaruhi setiap apa yang dilakukan manusia. Zaman dahulu belum ada Hand Phone dan internet. Tanpa ada dua perangkat komunikasi itu keadaan manusia biasa saja. Tetapi sekarang dengan ketergantungan pada dua perangkat itu manusia jadi sangat tergantung.

Pencetus teori determinisme teknologi ini adalah Marshall McLuhan pada tahun 1962 melalui tulisannya The Guttenberg Galaxy : The Making of Typographic Man. Dasar teori ini adalah perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Menurut analisis Andrew Feenberg bahwa setidaknya ada dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah:
  1. Pertama, teknologi berkembang secara unilinier dari konfigurasi sederhana ke arah yang lebih kompleks.
  2. Kedua, masyarakat harus tunduk pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi.

Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola– ola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik dimana teknologi itu berada. Bijker dan Pinch juga mengatakan bahwa perkembangan teknologi tidaklah otonom dan tidak melalui suatu momentum yang bersifat inheren.
Teknologi akan masuk melalui tiga fase dalam interaksi kelompok sosial:
  1. Fase pertama, terjadi fleksibilitas interpretatif, di mana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan artefak teknologi secara berbeda.
  2. Fase kedua, terjadi proses stabilitas melalui interaksi antarkelompok sosial yang berujung pada sebuah kompromi. 
  3. Fase ketiga, tercapai suatu kesepakatan dan persetujuan akan makna dari peralatan teknologi tersebut, pada fase ini desain dari artefak teknologi menjadi stabil. Dalam pandangan instrumentalis (Sulfikar Amir, 2007), teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia.

Pada satu sisi, kemajuan sains dan teknologi telah memudahkan manusia dalam mengatur berbagai aktivitas kehidupannya. Misalnya : kita bisa berhubungan dengan orang lain meskipun jaraknya berjauhan, melalui handphone, telepon, e-mail dan lain-lain. Pada sisi lain, implikasi kemajuan teknologi terasa sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan mental dan moral generasi muda.
Dalam konteks yang lain, perkembangan sains dan teknologi juga sangat berpengaruh terhadap keyakinan seseorang dalam menaati ajaran agamanya dan bisa melahirkan degradasi akidah dan ibadah dan menganggap seolah-olah komputer dan internet telah dianggap Tuhannya. Sebab definisi Tuhan menurut buku Introduction to Philosophy adalah sesuatu yang digandrungi oleh kita dan kita didominasi olehnya, itulah Tuhan. Menurut Jalaluddin Rahkmat, di era modern, televisi dan alat-alat teknologi akan dijadikan agama baru.
Dapat dikatakan, kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap (meminjam istilah Amir) – taken for granted dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, yaitu suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata tertutup. Sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang menjebloskan manusia kedalam bencana kemanusiaan. Hal ini pula yang menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan di antara kita karena aspek nilai, etika dan moral telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat.
Menurut Amir tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi karena manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi, yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih mendalam. Rosalind Williams mengatakan bahwa determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Namun bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu  menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, namun pada sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.

Teknologi Komunikasi dan Sejarah Perkembangannya

Teknologi sudah menjadi barang mutlak di era global ini. Apapun yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari teknologi. Mulai dari bekerja menggunakan laptop atau computer, penggunaan internet dan jejaring social, mesin otomatis dalam pabrik sampai hal kecil seperti memfotokopi kertas pun tak luput dari sentuhan teknologi yang terus dikembangkan. Di Jepang, telah digunakan ‘seorang’ robot yang membantu pelayan catering dalam membagikan makanan bagi karyawan dan karyawati dalam suatu perusahaan. Ini adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa robot telah menjadi suatu hal mutakhir yang secara langsung dapat membantu meringankan pekerjaan manusia karena secara fisik pun, sebagian dari mereka berperawakan layaknya manusia berlapis baja. Bahkan, di Negara-negera maju seperti Jepang dan Jerman, robot sudah mulai diproduksi dan digunakan di pabrik.

Everrt M. Rogers menuliskan bahwa terdapat empat era komunikasi yang terjadi dimuka bumi ini. Kronologis perkembangan komunikasi antarmanusia sebagaimana diungkapkan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Periode I : Periode Tulisan, 4000 SM – Hingga Sekarang
Orang Sumeria mulai menulis di tanah liat. Tahun 1041, Pi Sheng ( Cina ) menemukan alat cetak buku sederhana. Namun, pada tahun 1241 di Korea masih menggunakan tanah liat sebagai alat tulis.
Periode II : Periode Cetakan, 1456 – Sekarang
Kitab suci Gutenberg dicetak dengan cetakan besi yang dilakukan dengan mesin hand press. Tahun 1833, sirkulasi media massa diawali dengan surat kabar Penny Press – The New York Sun. tahun 1839, Daguerre mengembangkan cara praktis fotografi untuk surat kabar.
Periode III : Periode Telekomunikasi,1844 – Sekarang
Tahun 1880 Heinrich Hertz menemukan elektromagnetik. Tahun 1844, Sammuel Morse pertama kali mengirim pesan melalui telegraf. Tahun 1876, Alexander Graham Bell pertama kali mengirim pesan melalui telepon. Tahun 1894, bioskop untuk pertama kali diperkenalkan kepada public. Tahun 1895, Guigliemo Marconi mengirim pesan melalui radio – komunikasi. Tahun 1912, Lee Forest menemukan vacuum tube (triode). Tahun 1920, siaran radio secara periodic diadakan oleh KDKA di Pittsburch. Tahun 1933,demonstrasi televisi oleh RCA. Tahun 1941, siaran televisi koomersial pertama.
Periode IV : Periode Komunikasi Interaktif atau Dua Arah, 1946 – Sekarang.
Tahun 1946, kerangka dasar computer (ENIAC) dengan 18 ribu vacuum tube pertama kali dibuat oleh University of Pennsylvenia. Tahun 1947, William Shockley, John Bardeen dan Walter Brattain menemukan transitor. Tahun 1965, video tape diciptakan oleh Ampex Company di Redwood City California, Amerika Serikat. Tahun 1957, Rusia meluncurukan satelit Sputnik. Tahun 1969, NASA meluncurkan misi APOLLO XI yang mendaratkan manusia pertama di bulan, Neil Amstrong, 20 Juli 1969. Apollo XI dikendalikan oleh minicomputer yang berukuran hanya 2 1/2 feet dan hanya 1/3 ribu dari ENIAC.
Beberapa informasi yang cukup penting diketahui, yaitu : Tahun 1712, Joseph Newcombs menemukan prinsip dasar mesin uap. Tahun 1769, James Watt membuat mesin uap dan karena penemuan ini terjadilah revolusi industry di Inggris. Tahun 1983, J. George Bernodz dan Alex Muller menemukan bahan pembuat integrated circuit atau IC atau chips dari bahan keramik yang dapat berfungsi pada 30 derajat Kelvin (-243 derajat Celcius), yaitu dengan membenamkan bahan itu pada nitrogen cair. Oktober 1987, J. George Bernodz dan Alex Muller memenangkan hadiah Nobel untuk cabang Fisika Murni. Banyak keuntungan yang akan diperoleh oleh manusia dari bahan baru dari keramik ini karena apabila bahan ini dipergunakan, energi yang hilang/terbuang relative o (Abrar, 1993 : 3-4).
Media interaktif adalah media yang dipakai untuk saling menukar informasi, baik untuk keperluan hiburan, pendidikan, bisnis maupun lain-lain dengan menggunakan computer, terminal video text, telepon atau layar televisi. Ciri utama media interaktif adalah memberi peluang untuk saling saling tukar informasi. Ciri ini menjadikan media interaktif berbeda dengan media massa. Sebab media massa adalah saluran komunikasi melalui surat kabar, majalah, radio, televisi dan film yang bisa menjangkau khalayak luas dengan informasi yang berasal dari institusi. Maka itu, keliru pendapat yang mengatakan bahwa internet, yang notabene media interaktif, sebagai media massa (Abrar, 1993 : 18-19).

Istilah-istilah Dalam Jurnalistik

 
 
1. Off the record adalah bahan atau keterangan yang akan disampaikan oleh narasumber kepada wartawan dengan kesepakatan tidak boleh disiarkan (off the record). Apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin menyatakan keterangan off the record.

2. Delik Pers adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan atau pers. Delik Pers termasuk dalam kejahatan melalui alat cetak, tetapi tidak semua kejahatan memalui alat cetak merupakan delik pers. Delik Pers merupakan alat cetak yang dilakukan oleh "lembaga pers". Dengan demikian harus diketahui lebih dahulu siapa "pers" itu. Delik yang dilakukan oleh Pers ini lah disebut delik pers. Dalam hal ini mengenai pengertiannya dimana media pers itu meliputi tidak saja media cetak, tetapi media non cetak, seperti TV dan sebagainya. Di sisi lain berpendapat bahwa delik pers adalah kriminalisasi terhadap pers atau identik dengan upaya pengekangan kebebasan pers.

3. Yellow Paper adalah surat kabar yang mementingkan sensasionalisme dengan eksploitasi masalah seks dan kriminalitas. Ia menganut paham jurnalisme got (gutter journalism) yang menonjolkan pemberitaan tentang dunia hitam atau dunia kotor, yakni seks dan kejahatan (sex and crime journalism).

4. Sense of news adalah insting berita oleh wartawan untuk mencermati peristiwa berdasarkan akal sehat atau daya kepekaan seorang wartawan terhadap adanya peristiwa atau sumber berita yang menarik untuk ditulis/diberitakan.

5. Trial By Press adalah penghakiman sendiri yang dilakukan pers tanpa adanya keputusan final dari hakim atau tidak menghargai asas praduga. Peradilan dengan penggunaan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias. Biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan secara sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada.

Wartawan tidak boleh melakukan trial by press karena tindakan itu bersifat menghakimi sendiri atau menarik kesimpulan tanpa keputusan yang pasti dari hakim. Tindakan itu tidak membeberkan fakta secara keseluruhan sehingga menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut tidak lagi berimbang dan berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan. Wartawan bisa dituntut karena tindakan itu dengan tuduhan seperti pencemaran nama baik.

Namun, kenyataannya banyak hakim memakai KUHP karena ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik, dan di dalam KUHP terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Dalam KUHP tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan. Hal itu disebabkan karena KUHP begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara. Sehingga para hakim lebih cenderung menggunakan KUHP daripada UUD Pers. Padahal sebenarnya UUD Pers lah yang seharusnya digunakan, karena ia bersifat lebih khusus.

Jenis – jenis Wawancara Berita



1. Wawancara sosok pribadi (Personal interview)
Misalnya seorang tokoh penting secara khusus didatangi wartawan untuk mendapatkan pendapat atau informasi tentang sesuatu yang perlu dijelaskan secara panjang lebar. Untuk wawancara model ini wartawan perlu mempersiapkan gambaran masalah dan butir pertanyaannya. Ini penting, untuk mendapatkan informasi dan pendapat yang diinginkan. Dan, dengan persiapan itu wartawan dapat mengendalikan pembicaraan sehingga tidak menyimpang ke mana-mana.

2. Wawancara berita (News interview)
Yaitu wawancara untuk bahan berita. Yang ingin diperoleh wartawan dalam wawancara ini bisa jadi sekedar tanggapan atau konfirmasi seorang ilmuwan, pejabat dan sebagainya tentang sesuatu yang berkaitan dengan berita yang akan atau telah ditulis.

3. Wawancara jalanan (Man in the street interview)
Wawancara dengan tujuan mengumpulkan gagasan dari berbagai individu/kalangan masyarakat. Contohnya “Apasih pendapat (mereka) kalau BBM turun lagi?”

4. Wawancara sambil lalu (Casual interview)
Melakukan wawancara, namun secara tidak sengaja, artinya tidak direncanakan sebelumnya atau tanpa persiapan. Contohnya ketika kita jalan-jalan, tiba-tiba ketemu pak mentri di jalan. Lalu dalam pikiran kita terlintas ingin bertanya, "Apasih yang si pak mentri lakukan di tempat tersebut?".

5. Wawancara telepon (Telephone interview)
Yaitu wawancara yang dilakukan lewat pesawat telepon. Lazim digunakan dalam keadaan mendesak. (Pada wawancara via telepon, wartawan tak menangkap suasana orang yang diwawancarai). Contohnya saat berita kita kurang lengkap, sedangkan besoknya harus terbit, maka cara yang satu ini sangat ampuh.

6. Wawancara tertulis (Written interview)
Pertanyaan itu disampaikan langsung oleh wartawan tapi berupa tulisan di kertas pada nara sumber,  atau ditinggalkan sehingga sumber berita bisa membaca dan menjawab sendiri pertanyaan tersebut.

7. Wawancara kelompok (Discussion interview)
Nara sumber duduk dan dikelilingi puluhan wartawan. Mereka berkumpul mengajukan pertanyaan kepada nara sumber  di depan. Dan si nara sumber menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan tadi.

8. Online interview
Sama halnya seperti wawancara biasa, namun kali ini menggunakan media maya yaitu internet. Wartawan bisa bertanya lewat email, facebook, atau apapun terkait internet, yang nantinya akan dijawab oleh si nara sumber.

Teori Kritis

Teori media kritis berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada ilmu sosial Marxis. Beberapa tokoh yang mempeloporinya antara lain Karl Mark, Engels (pemikiran klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevara, Regis, Debay, T Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habermas, Altrusser, Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (pemikiran modern). Ilmu ini juga disebut dengan emancipatory science (cabang ilmu sosial yang berjuang untuk mendobrak status quo dan membebaskan manusia, khususnya rakyat miskin dan kecil dari status quo dan struktur sistem yang menindas).


Beberapa teori studi budaya (cultural studies) dan ekonomi politik juga bisa dikaitkan dengan teori kritis. Sebab, teori-teori itu secara terbuka menekankan perlunya evaluasi dan kritik terhadap status quo. Teori kritis membangun pertanyaan dan menyediakan alternatif jalan untuk menginterpretasikan hukum sosial media massa.

Beberapa pengaju teori kritis mengidentifikasi ketidakbebasan para praktisi media yang membatasi kemampuannya untuk melawan kekuasaan yang mapan. Mereka menilai bahwa ada beberapa dorongan untuk menyokong para profesionalis media untuk menanggulangi ketidakbebasan itu dan para praktisi media secara terus menerus gagal untuk menjawabnya.

Teori kritis sering menganalisis secara khusus lembaga sosial, penyelidikan luas untuk yang dinilai objektif adalah mencari dan mencapai. Media massa dan budaya massa telah mempromosikan banyak hal yang ikut menjadi sasaran teori kritis. Bahkan ketika media massa tidak melihat sebagai sumber masalah khusus, mereka dikritik untuk memperburuk atau melindungi masalah dari yang diidentifikasi atau disebut dan dipecahkan.

Contohnya, seorang teoritikus berpendapat bahwa isi praktik produksi para praktisi media tidak hanya menyebabkan tetapi juga mengabadikan masalah. Thema pokok di dalam teori kritis adalah bahwa isi produksi juga ikut memperkuat status quo dan mengurangi usaha yang berguna bagi perubahan sosial yang konstruktif.

Pemikiran kritis tentang media didorong oleh aliran kritis dalam ilmu sosial dan kritik terhadap pemikiran Marxisme sehingga mereka menyebut dirinya dengan aliran Neo-Marxisme.


Salah satu pendekatan ajarannya menurut Frankfurt adalah:
  1. Ilmu sosial modern memainkan peranannya semata-mata penggambar realita sosial
  2. Ilmu sosial kehilangan ketajamannya untuk mempengaruhi pembebabasan masyarakat dari kekuatan penindasan penguasamdalam setiap bidang dan lapisan masyarakat.

Pendekatan pokok lain terhadap media adalah:
  1. Media harus menjadi ajang diskurus yang mendasari tindakan komunikatif manusia untuk penyadaran dalam “situasi percakapan ideal”
  2. Media merupakan pemain utama dalam perjuangan ideologis terutama dalam menyebarkan ideologi dominan dan potensinya mengekspresikan ideologi-ideologi alternatif dan yang saling bertentangan.
  3. Media merupakan industri budaya yang secara harafiah menciptakan simbol-simbol dan cita-cita yang dapat menekan kelompok-kelompok yang kecil.
  4. Media merupakan suatu cara untuk membangun budaya dengan lebih menekankan pada gagasan dari pada barang-barang.
  5. Konsep tentang media dipengaruhi oleh aspek-aspek ideologis, politis, ekonomi, dan sosial.

Attention, please!

Sesungguhnya aktifitas tidak akan terganggu bila setiap satu jam sekali, berhenti setengah menit untuk beristighfar atau dzikir lainnya sebanyak 10x, bahkan lebih dari itu Insya Allah bisa.

Be My Partner